Oleh Agung Marsudi
Dalam perjalanan KRL Commuter dari Yogya ke Solo, terlihat para penumpang asik main gadget, tak ada tegur sapa, tak ada basa-basi, tak ada komunikasi. Saya pikir, semua di bawah kendali layar yang maunya selalu "disentuh".
Rupanya, bagi para pengguna KRL memang wajib memakai masker ganda (masker N95), dilarang makan dan minum, dilarang berbicara, dilarang menelpon. Semua demi pandemi Indonesia.
Lalu, saya pun menikmati kebisuan perjalanan, dengan membalik halaman demi halaman, Rumah Kaca, Pramoedya. Sebuah roman besar, yang menguras energi penulisnya, untuk menampilkan embrio Indonesia dalam ragangan negeri kolonial.
Di bawah kendali masinis, KRL 660A, 8 rangkaian kereta, tiba di stasiun Balapan, Solo jam 15.30 WIB.
"Keselamatan anda adalah prioritas kami. Hati-hati pintu sebelah kiri akan dibuka. Hati-hati pintu kiri akan dibuka. Stasiun akhir Solo Balapan," ujar kondektur, satu-satunya orang yang boleh bersuara.
Saya di gerbong 5, sengaja keluar belakangan, tidak menikmati desak-desakan. Begitu keluar celah kereta, saya heran, ada senyum Erick Thohir dimana-mana.
Pemilu 2024 sudah dekat. Di bawah kendali operasi, dalam genggaman oligarki. Kontestasi dimulai, tak malu-malu lagi.
Erick "BUMN" Thohir untuk Indonesia.
Sementara di luar stasiun "Sewu Kuto" ini saya disambut warung Mbah Ti, dengan aneka masakan khas Jawa. Ojo lali sambel tumpangnya, wuenak sekali!
Di Solo, kota kelahiran, yang sudah lama ditinggalkan, tentu saya rindu, dan belajar menjadi warga negara yang punya malu.
Solo, 24 Februari 2022
Posting Komentar